Warisan luka Indonesia, dari Bapak turun ke Menantu
Sedih rasanya menatap Indonesia, seolah terus-terusan mengulang sejarah kelamnya. Delapan puluh tahun merdeka, namun luka-luka itu masih terjadi, masih menusuk hingga hari ini. Luka yang kembali terbuka, padahal kita masih berada di bulan perayaan kemerdekaan.
Berita mengenai tambahan tunjangan untuk rumah anggota DPR sebesar 50 juta per bulan, sementara rakyat berjuang menahan lapar, meraba kantong yang kosong. Opini-opini mereka, dingin dan tak pro-rakyat, hanya menambah sayatan luka. Padahal mereka adalah wakil rakyat. Namun, di manakah suara rakyat yang seharusnya diwakili? Hal tersebut masih menjadi tanda tanya.
Kerusuhan akibat krisis moneter 1998 di Indonesia seharusnya menjadi pengingat, pelajaran pahit tentang buruknya tata kelola dan kebijakan. Tapi 27 tahun kemudian, sejarah terasa terulang dan luka itu kian mendalam. Bagaimana tidak? Pajak PBB naik hingga 400%, PHK terjadi di mana-mana, massa berkumpul di depan gedung wakil rakyat menuntut keadilan sosial sebagaimana bunyi dari sila kelima Pancasila bersamaan dengan tuntutan lain seperti tuntutan untuk mempercepat pengesahan RUU krusial : Perampasan aset, PPRT, Ketenagakerjaan (tanpa skema omnibuslaw), hingga revisi UU pemilu. Massa terbagi menjadi 2, buruh dan mahasiswa yang masing-masing membawa tuntutan yang berbeda namun tetap berpadu dalam satu komando, satu perjuangan, menuntut keadilan.
Alih-alih menerima tuntutan dengan tangan terbuka, DPR justru menutup pintu. Yang tadinya lihai mencibir rakyat, kini sibuk mengamankan diri jauh dari tanah sendiri. Gedung dipagari dengan barikade tinggi serta dijaga ketat oleh aparat kepolisian yang semakin hari semakin menebarkan ketakutan, mengoyak Pasal 28G UUD 1945. Aparat seharusnya menjadi pelindung, bukan penindas, bukan tangan yang menculik dan menindak rakyat secara represif.
Aksi rakyat sejak 25 Agustus hingga saat ini bukanlah tanpa alasan. Mereka lelah ditusuk kebijakan berduri dari wakil yang dipercayakan rakyat. Presiden, yang seharusnya membawa akuntabilitas, seolah diam ditelan bumi.
Masa depan bangsa ada di tangan rakyat. Setiap perjuangan kecil bahkan sekecil untuk memilih bersuara di media sosial atau mengunggah ulang postingan yang berkaitan merupakan langkah untuk menyembuhkan warisan luka ini. #ResetIndonesia
Komentar
Posting Komentar